Alhamdulillah, wa shallatu was salamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
aalihi wa shohbihi wa sallam, Amma ba’du
Diantara sesuatu yang disyariatkan adalah membaca Ta’awudz atau
Isti’adzah ketika sholat yaitu sebelum membaca bismillahirrahmanirrahim pada
saat membaca Surat Al-Fatihah. Dan bacaanya dengan pelan bukan jahr.
Hal ini sesuai dengan firman Allah
فَإِذَا
قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
"Apabila
kamu membaca al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
setan yang terkutuk." (An-Nahl: 98).
Adapun
mengenai hukumnya adalah sunnah baik itu di dalam maupun di luar sholat. Sehingga
meninggalkan membaca ta’awudz pada saat sholat tidak menjadi masalah hanya saja
kurang afdhol. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Beberapa
Lafadz Ta’awudz [1]
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
(A’uudzu
billahi minasy syaithonir rajim)
(A’uudzu
billahis sami’il ‘aliimi minasy syithonir rajim)
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
(A’uudzu
billahis sami’il ‘aliimi minasy syithonir rajim, min hamzihi wa nafkhihi wa
naftsihi)
Ibnu
Qudamah dalam al-Mughni (II/146) berkata, “Masalah ini cukup luwes. Isti’adzah
(ta’awudz –penj) yang manapun adalah baik.”
Kapan
Membaca Ta’awudz?
Imam Syafi’i
dan ulama madzhab Syafi’i diantaranya adalah Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, Ibnu
Hazm, dan dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sifat Sholat Nabi. Sedangkan
mayoritas ulama berpendapat cukup di rakaat pertama saja. [2]
Abu
Hurairah berkata:
إِذَا نَهَضَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ افْتَتَحَ الْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدِ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ
“Adalah Rasulullah bila bangkit ke rakaat kedua, beliau membuka bacaan (qiraah) dengan ‘Alhamdulillahi rabbil alamin’ dan beliau tidak diam.” (HR. Muslim no. 1355)
Ibnul
Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, “Mencukupkan satu ta’awudz (hanya dalam
rakaat pertama, pen.) adalah pendapat yang lebih nampak, berdasarkan hadits
yang shahih dari Abu Hurairah :
كَانَ إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ وَلَمْ يَسْكُتْ أَنَّ النَّبِيَّ
“Nabi bila bangkit menuju rakaat yang kedua, beliau membuka dengan bacaan dan tidak diam.”
Bahwa Rasulullah mencukupkan satu istiftah, karena beliau tidak menyelingi dua qiraah (bacaan) dengan diam, tapi dengan dzikir. Dengan demikian, qiraah dalam shalat dianggap satu qiraah jika yang menyelinginya adalah pujian kepada Allah, tasbih, tahlil, atau shalawat kepada Nabi, dan yang semisalnya.
Sehingga
dari hadits Abu Hurairah jelas bahwa dalam rakaat kedua dan setelahnya
Rasulullah tidak melafadzkan ta’awudz karena Rasulullah tidak diam setelah
berdiri. Dan bacaan Al-Qur’an ketika sholat itu adalah satu sehingga cukup
membaca di awalnya saja yaitu di rakaat pertama. Inilah pendapat yang rajih
yang dinilai rajih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa
wa Rosail.
Wallahu a’lam
Alhamdulillah
bini’matihi tatimush sholihat,
[1] Shahih Fiqih Sunnah I karangan Syaikh Abu Malik
Kamal bin as-Sayyid Salim
[2] Letak permasalahannya adalah, apakah Al-Qur’an
yang dibaca dalam sholat itu satu walaupun diselingi oleh tasbih, tahlil,
tasyahud, dan dzikir lainnya sehingga cukup dengan satu ta’awudz, ataukah
bacaan Al-Qur’an berdiri sendiri setiap rakaatnya sehinga harus memperbarui ta’awudz
setiap rakaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar