Hadits of The Day

مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّـلَ اللهُ لَهُ طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ

Kamis, 15 Agustus 2013

Masih Ragukah Anda Bahwa Allah di Atas Semua MakhlukNya?


Alhamdulillahirabbil ‘alamin wa sholatu was salam ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘aalihi wa shohbihi wa sallam.

Dalam tulisan ini saya akan membawakan dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang shahih yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhlukNya. Dan bahwasahnya Allah itu berada di atas, yaitu Allah beristiwa’ di atas Arsy. Dan inilah aqidah besar yang diimani oleh para Shalafus Sholih dan para Imam yang banyak diikuti pendapatnya. Hanya saja bukan dalam artikel ini penulis akan menyebutkan ucapan ulama yang sangat banyak jumlahnya yang beriman bahwasahnya Allah berada di atas langit, Allah berada di atas Arsy.

Sebelum saya bawakan dalil yang sangat banyak mengenai hal itu, saya akan menerangkan sikap kita dengan dalil-dalil yang menyebutkan tentang Asma’ dan Shiffat Allah. Yaitu kita beriman sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an atau yang disabdakan Rasulullah tanpa melakukan tahrif (penyelewengan makna), ta’thil (menolak), tasybih (menyamakan dengan makhluk), maupun takyif (menyanyakan bagaimananya/kaifiyahnya).


Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata :
Sikap kita adalah memahami apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah tersebut apa adanya tanpa memalingkan kepada makna yang lain. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab (yang jelas), Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berbicara juga dengan bahasa Arab, maka kita wajib memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya sesuai dengan tuntutan bahasa tersebut tanpa memalingkan maknanya, karena merubah /memalingkan maknanya sama saja degan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu. (Terjemahan Syarah Lum’atul hlm 32, Penerbit Media Hidayah)

Imam Ahmad berkata : Tidak boleh mensifati Allah kecuali dengan apa yang Allah sifati untuk diriNya atau yang disifatkan oleh RasulNya. (Majmu’ Fatawa 5/26). Menjelaskan kalimat ini Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : Yaitu kita tidak boleh mensifati Allah kecuali dengan apa yang Allah sifatkan untuk diriNya dalam KitabNya. Atau berdasarkan lisan RasulNya (Syarah Aqidah Wasithiyyah 1/75)

Diantara ulama yang mengatakan perkataan yang sama :
Sufyan bin ‘Uyainah : Apa-apa yang Allah sifatkan untuk dirinya di dalam KitabNya, maka qiroahnya adalah tafsirnya (tanpa melakukan tahrif, pent). Tidak berhak bagi seorangpun untuk menafsirkan dengan Arobiyah maupun dengan Persia (menolak tahrif, pent). (Al-Asma wa Shiffat 2/117). Dikatakan oleh pentahqiq bahwa hal tersebut shahih dari Sufyan bin Uyainah

Ibnu Abi Ya’la : Sesungguhnya perkara (dalam menetapkan asma’ wa shiffat) adalah mengimaninya sebagaimana datangnya tanpa takwil (menyelewengkan makna, pent), tanpa tafsir, tanpa tajsim (menyerupakan dengan makhluk, pent), tanpa tasybih (menyerupakakan). Sebagaimana yang dilakukan oleh Shahabat dan Tabi’in dan hal demikian itu wajib. (Al-I’tiqod libni Abi Ya’la hlm 31, syamilah)

Dan sebetulnya masih banyak lagi perkataan yang hamper senada dengan ucapan ulama tersebut.

Berikut diantara dalil-dalil yang sangat banyak jumlahnya yang menunjukkan Ketinggian Allah di atas seluruh MakhlukNya. Dan Allah berada di atas Arsy.

      A.    Dalil Dari Al-Qur’an

     a.      Datang dalam bentuk istawa

Ayat yang menunjukkan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy dalam Al-Qur’an ada tujuh tempat.
Dalam Surat Al-A’rof ayat 54 :

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian istiwa’ di atas Arsy. (QS. Al-A’rof : 54)

Ayat yang menggunakan lafadz ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ  selain di Al-A’rof ayat 54 juga ada di Yunus : 3, Ar-Ra’d : 2, Al-Furqon : 59, As-Sajdah : 4, Al-Hadid : 4.
Dan dalam Surat Thoha : 5 dengan lafadz yang agak berbeda 

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Yang Maha Penyayang beristiwa’ di atas Arsy” (QS. Thoha : 5)

Perlu diketahui bahwa اسْتَوَى (istawa) disini maknanya adalah علا (tinggi/ di atas). (Silahkan lihat Syarah Aqidah Wasithiyah Syaikh Utsaimin 1/374, lihat pula tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Mujahid)
Tidak sebagaimana Ahlu Ta’thil yang mereka memaknai istawa dengan istaula yang berarti berkuasa. Ini jelas menyelisihi makna sesungguhnya dari istawa dan menyelisihi salafush sholih dalam memaknainya.
      
b.      Datang dalam lafadz “Tinggi” (‘Uluw wa Fauqiyyah)

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar” (Al-Baqoroh : 255)

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
Dan Dialah yang berkuasa di atas hamba-hambaNya (Al-An’am : 18)

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” ( An Nahl : 50)

c.       Dalam bentuk turunnya sesuatu dariNya

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ
Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi (As-Sajdah : 5)

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an) (Al-Hijr : 9)
Dan ayat lain yang serupa dengannya yang masih banyak daam Al-Qur’an. Turunnya sesuatu dari Allah menunjukkan bahwa Allah berada di atas

d.      Dalam bentuk naiknya sesuatu kepadaNya

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
KepadaNya-lah akan naik kalimat yang baik dan amal sholih Dia akan mengangkatnya (Fathir : 10)

تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
Para malaikat dan Jibril naik kepadaNya (Al-Ma’arij : 4)
Faidah lain dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa Alam Semesta ini sangatlah megah, hal ini mengingatkan kepada kita bahwa kita itu tidak ada apa-apanya. Jadi jangan pernah menjadi orang yang sombong…

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tetapi Allah telah mengangkat Isa kepadaNya (An-Nisa : 158)
Ayat-ayat di atas yang menyebutkan naiknya sesuatu kepada Allah atau diangkatnya sesuatu kepadaNya melazimkan bahwa Allah berada di atas, Allah berada di ketinggian.


e.       Dalam bentuk “di atas langit”


أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا
Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang berada di (atas) langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu? (Al-Mulk : 17)

Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya : (أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ) وهو الله
“(Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang berada di (atas) langit) Dia adalah Allah” Silahkan dicek di tafsir beliau Jilid 23 halaman 513, syamilah

Mungkin anda akan bertanya, lhoh anda tidak konsisten, dalam ayat tersebut disebutkan فِي yang artinya “di”. Berarti Allah ada di langit, bukan di atas langit??

Jawabannya : فِي  disitu harus diartikan عَلَيْ   (di atas), sebagaimana anda mengatakan “di bumi”, apakah maksudnya di kerak bumi? Tentu saja maksudnya adalah “di atas” bumi.

Atau dengan mengatakan bahwa السَّمَاءِ  disitu artinya adalah العلو (ketinggian). Sehingga bisa dimaknai “Dia yang berada di ketinggian”. Dan ini adalah sesuatu yang diterima oleh Bahasa Arab, sehingga tidak ada lagi kebingungan mengenai lafadz tersebut. Walhamdulillah

Penjelasan ini saya rangkum dari Syarah Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 1/398, Syarah Aqidah Wasithiyah Kholil Harras hlm 145,

Imam Baihaqi dalam Al-Asma’wa Shiffat 2/330 berkata :
“Dan makna firmanNya dalam ayat مَنْ فِي السَّمَاءِ  yaitu di atas langit di atas Arsy sebagaimana yang disebutkan oleh Kitab dan Sunnah”

       f.       Kisah Fir’an

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
Dan Fir’aun berkata : “Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai kepintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhannya Musa, tetapi aku tetap memandangnya sebagai pendusta” (Ghofir : 36-37)

Ayat tersebut sebuah kisah bahwa Fir’aun ingin naik ke langit sehingga dengan itu dia bisa melihat Tuhannya Musa yang berada di atas langit.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata :
“Yang tampak dari ayat tersebut adalah : Bahwa Fir’aun memerintahkan untuk membangun bangunan yang tinggi agar dia dapat melihat Tuhannya Musa menunjukkan bahwa Musa ‘alaihis salam telah berkata kepada Fir’aun : ‘Sesungguhnya Allah di atas langit’” (Syarah Aqidah Wasithiyah 1/340)

Ibnu Jarir dalam tafsirnya :
وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا   (Aku memandangnya sebagai seorang yang pendusta) : aku memandang bahwa Musa berdusta ketika mengatakan dan mendakwahkan bahwa di (atas) langit ada Tuhan yang mengutus Musa kepada kami (Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thobari 21/387, syamilah)

Demikian tadi sebagian dalil dari Al-Qur’an bahwa Allah berada di atas seluruh makhluknya, Allah berada di atas Arsy. Dan sebetulnya masih ada dalil yan lain, akan tetapi terlalu panjang untuk disebutkan semuanya.

      B.     Dalil Dari Hadits

      a.       Dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan tentang langit bersabda :

و الله فوق العرش

“Dan Allah (berada) di atas Arsy” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di Kitab Tauhid, Al-Laalikai di Syarh Sunnah, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Ad-Darimi dalam Ar-Rod alal Jahmiyyah, adz-Dzahabiy dalam al-‘Uluw : Sanadnya shahih

Berikut hadits yang menyebutkan bahwa Allah di (atas) langit

أَلاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku adalah kepercayaan (Dia) yang berada di (atas) langit?” (HR Bukhori 4351 dan Muslim 1064 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

      b.      Dalm bentuk perbuatan Nabi

Yaitu Kisah Rasulullah ketika berkhutbah di Arofah pada saat tahun dimana Rasulullah melakukan Haji Wada’ dimana para Shahabat berkumpul ketika itu mendengarkan khutbah beliau. Ketika itu beliau bersabda :

“Apakah aku telah menyampaikan (risalah)?” Para Shahabat menjawab : “Ya”, beliau berkata lagi, “Apakah aku telah menyampaikan?” Para Shahabat menjawab, “Ya”
Kemudian Rasulullah bersabda,
“Ya Allah! Persaksikanlah” beliau sambil berisyarat menunjuk ke langit dengan jarinya
(HR. Muslim 1218 dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Hadits yang panjang tentang Sifat Haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

      c.       Dalam bentuk taqrir Nabi (Diamnya Nabi dalam rangka menyetujui)

Yaitu dalam Hadits Mu’awiyah bin al-Hakam radhiyallahu ‘anhu, sesunguhnya dia datang menemui Jariyah dimana beliau ingin membebaskannya, Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Jariyah

“Dimana Allah?” Dia menjawab, “di (atas) langit”
Kemudian Nabi bertanya lagi “Siapa saya?” Dia berkata, “Rasulullah (utusan Allah)”
Kemudian Nabi bersabda, “Bebaskanlah dia! Karena sesungguhnya dia adalah mukminah”
(HR. Muslim 537 dari hadits Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiyallahu ‘anhu)


Demikian tadi beberapa dalil yang sangat tegas yang menjelaskan sebuah aqidah besar yang shahih, dan itu baru sebagian dalil saja, masih ada beberapa dalil yang lainnya baik dari Al-Qur’an dan Sunnah maupun Ijma’ ulama.

Yang aqidah ini sudah banyak orang yang menyelisihinya dari kalangan Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy-‘ariyyah. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kami untuk berada dalam aqidah yang shahihah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak dianut juga oleh para Shahabat, Tabi’in,

Alhamdulillah bini’matihi tatimush shoolihaat

»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 27 Juli 2013

Penantian Malam Lailatul Qadar




Keutamaan Lailatul Qadar

1. Allah menurunkan al-Qur'an pada bulan ini, sebagaimana dalam firman-Nya 
'Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan." (Ad-Dukhan : 3)

2. Allah menunjukkan betapa agungnya lailatul qadar tersebut dengan firmannya "dan tahukan kamu apakah malam kemuliaan itu?" (al-Qadr : 2)

3. Beribadah pada malam itu lebih baik daripada beribadah semala seribu bulan di malam-malam lainnya

4. Para malaikat turun pada malam tersebut. Ada yang mengatakan mereka turun untuk membawa rahmat, keberkahan, dan ketentraman bagi manusia. Ada juga yang berpendapat, mereka turun membawa semua urusan yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah untuk satu tahun

5. Pada malam itu keamanan dan keselamatan menyatu pada diri orang-orang yang beriman, dan mereka mendapatkan salam secara terus menerus dari para malaikat

KAPAN MALAM LAILATUL QADAR?

Tidak diragukan lagi bahwa malam lailatul qadar terdapat pada bulan Ramadhan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, "Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan lailatul qadar dengan perselisihan yang sangat banyak. Setelah kami himpun, ternyata pendapat mereka mencapai lebih dari empat puluh pendapat" (Fathul Baari (IV/309))

Mayoritas ulama berpendapat, lailatul qadar terdapat pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan; Berdasarkan hadits Abu Sa'id, Rasulullah bersabda,
"Maka carilah malam tersebut pada sepuluh malam terakhir." (HR. Bukhari dan Muslim)

Mayoritas mereka berpendapat, lailatul qadar terdapat pada malam ganjil di sepuluh malam terkahir, berdasarkan sabda Nabi,
"Carilah lailatul qadar pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." (HR. Bukhari)

Demikian pula kebanykan dari mereka berpendapat, lailatul qadar jatuh pada malan ke 27 Ramadhan. Ini pendapat sekelompok Shahabat. Bahkan Ubay bin Kaab memastikannya dan berani bersumpah lailatul qadar jatuh pada malam 27, sebagaimana tertera dalam hadits riwayat Muslim no 762.

Syaikh Abu Malik berkata, "
Yang jelas, menurutku, lailatul qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terkahir Ramadhan dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut, tidak khusus hanya pada malam 27 saja..... Buktinya Nabi pernah mendapati lailatul qadar terjadi pada malam ke 21, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Abu Said...


DOA YANG DIPANJATKAN PADA MALAM ITU

Pada malam tersebut disunnahkan untuk banyak berdoa, terutama doa yang disinyalir dalam hadits Aisya. Ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku mendapatkan lailatul qadar, apa yang harus aku ucapkan?" Beliau menjawab, 'Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
'Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni
'Ya Allah sesungguhnya Engkau Pemaaf dan senang memaafkan maka maafkanlah kesalahanku. (Shahih, HR. Tirmidzi no 3760 dan Ibnu Majah no 3850)

TANDA-TANDA LAILATUL QADAR

1. Cuaca malam itu sedang dan anginnya tenang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda, 
"Lailatul Qadar adalam malam yang tenang, cerah, tidak panas, dan tidak pula dingin. Pada pagi harinya matahari terbit dengan cahaya yang lemah dan berwarna kemerahan." (Hasan, HR. ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaiman, dan al-Bazzar)

2. Ada ketrentaman dan ketenangan pada malam itu yang dibawa turun oleh para malaikat, sehingga manusia merasakan ketrentaman hati, lapang dada dan kelezatan beribadah pada malam itu yang tidak pernah dirasakannya pada malam-malam lainnya.

3. Sebagian orang melihatnya dalam mimpi, sebagaimana pernah dialami oleh sebagian Shahabat Nabi.

Tanda yang muncul setelah malam tersebut :

4. Pada pagi harinya matahari terbit dengan jernih tanpa memancarkan sinarnya. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, Nabi bersabda :
"Matahari terbit pada pagi lailatul qadar tanpa cahaya seolah-olah seperti talam hingga meninggi" (Shahih, HR. Muslim no 1174)

-Diringkas dari Terjemahan Shahih Fiqih Sunnah Jilid III terbitan Pustaka at-Tazkia-


TAMBAHAN BEBERAPA HAL TENTANG WAKTU LAILATUL QADAR

Syaikh Alu Bassam mengatakan, 
"Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Baari 40 pendapat menganai waktunya..... Dan yang paling rajih dengan mengatakan Lailatul Qadar berada di 10 hari terkahir dalam Bulan Ramadhan, dan yang paling diharapkan dari itu adalah hari yang ganjil, dan dari yang ganjil yang paling diharapkan adalah malam 27. 
-Tawdhihul Ahkam (III/591)-

Hal yang senada juga disetujui oleh Ustadz Aris Munandar ketika membahas Tawdhihul Ahkam. Dan beliau juga menceritakan bahwa di Arab kebanyakan berpendapat bahwa malam lailatul qadar itu malam ke 27 sehingga pada hari itu Masjidil Haram sangat padat sekali.

Ustadz Dzulqarnain ketika membahas Lailatul Qadar juga menyampaikan hal yang sama seperti Syaikh Alu Bassam
Walahu a'lam

»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 14 Juni 2013

Perkara Yang Disunnahkan Untuk Berwudhu

1.      Ketika Berdzikir Kepada Allah

Termasuk didalamnya semua bentuk dzikir, seperti membaca Al-Qur’an, Thawaf, dan selainnya

Dianjurkan berwudhu untuk perkara di atas. Dasarnya adalah Hadits Al-Muhajir bin Qanfadz, ia memberi salam kepada Nabi ketika beliau sedang berwudhu, dan beliau tidak menjawab salamnya hingga selesai berwudhu. Kemudian beliau menjawabnya seraya mengatakan :


إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طَهَارَةٍ
Tidak ada yang mencegahku untuk menjawab (salam)mu, namun aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci”  (HR. Abu Dawud, an-Nasa’I, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad. Hadits ini shahih, silahkan lihat Silsilah Hadits Shahihah)

Walaupun itu bukan suatu keharusan, menurut Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim (IV/68), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat Allah dalam segala keadaan”

      2.      Ketika Hendak Tidur

Diriwayatkan dari Bara’ bin ‘Azib ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلىَ شِقِّكَ الْأَيْمَنِ وَقُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ؛ فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
“Apabila kamu hendak mendatangi tempat pembaringanmu maka berwudhulah seperti wudhumu ketika shalat lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan dan ucapkanlah:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu, kujadikan perlindungan diriku kepada-Mu, dengan berharap dan takut hanya kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan jalan selamat kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan terhadap Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ Jika engkau mati maka engkau akan mati di atas fitrah dan jadikanlah itu sebagai ucapan akhirmu.”.”
(Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

3.      Bagi orang yang Junub ketika hendak makan, minum, tidur, atau kembali berjima’

اذا اتى احدكم اهله ثم اراد ان يعود فليتوضأ
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila junub lalu hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat.” (Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Jika salah seorang dari kamu mendatangi istrinya, kemudian ia hendak mengulanginya kembali, maka hendaklah ia berwudhu.” (Shahih, diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i)

      4.      Berwudhu sebelum mandi

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi jinabat, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya, alalu menuangkan air dengan tangan kanannya pada tangan kirinya, lalu mencuci kemaluan beliau, lalu berwudhu seperti wudhu untuk shalat.” (Shahih Bukhari dan Muslim, dan selain keduanya)

5.      Berwudhu setelah memakan masakan yang dimasak dengan api

Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

توضئوا مما مست النار
Berwudhulah kalian setelah memakan makanan yang dimasak dengan api.” (Shahih Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah)

Perintah dalam hadits tersebut dipalingkan menjadi makna mustahab dikarenakan Hadits ‘Amru bin Umayyah adh-Dhamri, ia mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyayat daging dari pundak kambing lalu memakannya. Kemudian shalat diserukan, maka beliau bangkit dan meletakkan pisau, kemudian beliau shalat dan tidak berwudhu.” (Shahih Bukhari, Muslim, Ibnu Majah)

      6.      Memperbarui wudhu setiap kali hendak shalat

Dasarnya adalah Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu setiap kali hendak shalat. Pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau berwudhu dan mengusap kedua sepatunya, serta mengerjakan beberapa shalat dengan sekali wudhu saja.” (Shahih Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah)

      7.      Berwudhu setiap kali batal wudhunya

Berdasarkan Hadits Bilal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara terompah Bilal dihadapan beliau di dalam surge, beliau lali bertanya, “Dengan amalan apakah engkau mendahuluiku kepadanya?” Bilal menjawab “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mengumandangkan adzan, melainkan aku shalat dua rakaat setelahnya. Dan tidaklah aku terkena hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya.” Mendengar hal itu beliau mengatakan “Karena inilah”. (Sanadnya shahih, diriwayatkan dengan menyebutkan berwudhu ketika berhadats : at-Tirmidzi, abu Daud, Ahmad dan lafadz ini dari beliau. Asalnya terdapat dalam ash-Shahihain tanpa lafadz di atas. Dikatakan shahih sanadnya oleh Syaikh Al-Albani)

     8.      Berwudhu karena muntah

Dasarnya adalah Hadits Ma’dan bin Abu Thalhah dari Abu Darda’, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu.” Kemudian aku bertemu Tsauban di Masjid Damaskus, lalu aku menyebutkan hadits itu padanya, maka ia mengatakan, “Ia (Abu Darda) benar. Akulah yang menuangkan air wudhu itu untuk beliau.” (Shahih, at-Tirmidzi, Abu Daud. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah dengan sedikit penambahan dan pengurangan
»»  Baca Selengkapnya...