Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An Najm: 39).
Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan
bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang
tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa
manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk
dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat
ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya
yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang
memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia
tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan
jadi miliknya.[1]
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah
meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan,
seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di sini,
amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan
dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang
mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali
jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal
tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا
إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar),
mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".” (QS. Al
Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat
diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia
adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun
yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini
mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang
sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin
diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ
كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ
وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan
mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya.
Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan
berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah
meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak
mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan
seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah
orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia
bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya.
Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang
ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً
فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri.
Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan
melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu
untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang
si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di
sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan
bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak
wajib.[5]
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang
mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur,
Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat
pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa,
maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli
waris[7].
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا
نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar
(yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan
bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia
adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ
الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih
payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih
masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat
karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka
lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil
sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau
orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga
orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al
Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak
sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di
liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan
sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih
yang mendo’akan orang tuanya.”[10]
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’)
kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ - رضى الله عنه -
تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ
تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ
حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia,
sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad
mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan
aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku
menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap
berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang
membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia
menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang
sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah
perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah
mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ
قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka
ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih
hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah
ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa
para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya
dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah;
baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan
lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup
atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya
sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari
sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang
mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua
orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah
ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan
tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan
memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk
mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk
menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah
maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah
kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam
Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan
pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut
mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang
disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika
mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka
menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau
kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari
salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas.
Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf
karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu
a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]
Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah
ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan
mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan
ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi
tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau
acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang
karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya
keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka
saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot
menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa
bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan
mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh
keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah
bersabda,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ
ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ
يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh
yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala
melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si
mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang
mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan
orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh
padanya.”[14]
Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan
makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan.
Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan
Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ
وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu
keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang
jelas terlarang).”
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain
yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin
Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا
يَشْغَلُهُمْ
“Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu
tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad
Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan
ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang
kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada
keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur
mereka, pen]
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah
ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin
ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini
termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat
(salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal
ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah,
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang.
Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan
mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam
rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).
Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini.
Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]
Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat
bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi
taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan
menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H
[1] Lihat Taisir Karimir Rahman,
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1420 H
[2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil
Mannan, hal. 851.
[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.
[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619
[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’
Al Islam
[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525
[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638
[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Muslim no. 1631
[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul
Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H
[12] HR. Bukhari no. 2756
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.
[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy
Syamilah