Diantara
shalat-shalat sunnah rawatib muakkad yang paling ditekankan ialah dua rakaat
sebelum shalat Fajar. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata
: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menjaga shalat-shalat
nafilah (sunnah, -pent) lebih daripada menjaga dua rakaat Fajar.” (Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari (1093)
dan Muslim (1191))
Dalam lafadz
lain : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
meninggalkannya.” (Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari (1159)). Hal itu
berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasahnya Rasulullah
bersabda: “Dua rakaat Fajar lebih baik daripada dunia berikut segala isinya.”
(Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim (725) dan at-Tirmidzi (416))
Ibnu al-Qayyim
dalam Zad al-Ma’ad (I/315), berkata : “..oleh karenanya, beliau (yakni beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak pernah meninggalkannya, yaitu shalat
sunnah Fajar dan shalat Wtir, baik pada saat safar maupun saat bermukim. Pada saat
bepergian, beliau lebih rutin mengerjakan shalat sunnah Fajar dan Witir
dibandingkan semua shalat sunnah lainnya. Tidak pernah dinukil dari beliau
bahwa beliau shalat sunnah rawatib selain kedua rakaat shalat tersebut.”
Meringankannya
Disunnahkan
untuk meringankan shalat sunnah Fajar, dengan syarat tidak meninggalkan perkara
yang wajib.
Diriwayatkan
dari Ibu Umar, ia berkata: “Hafshah mengabarkan kepadaku bahwasahnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika muadzin mulai mengumandangkan
shalat Shubuh dan telah tiba waktu Shubuh, maka beliau mengerjakan dua rakaat
ringan sebelum shalat Shubuh dilaksanakan.” (Shahih, Diriwayatkan oleh
Bukhari (583)
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat dua
rakaat ringan antara adzan dan iqamah pada shalat Shubuh.” (Shahih,
Diriwayatkan oleh Bukhari (584))
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah juga, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
meringankan dua rakaat sebelum shalat Shubuh, sehingga aku mengatakan : ‘Apakah
beliau membaca Al-Fatihah?” (Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari (1095) dan
Muslim (1189))
Surat apa yang
disunnahkan untuk dibaca
Membaca surah
setelah al-Fatihah pada dua rakaat Fajar, telah shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang membaca surah pada dua rakaat Fajar dalam
beberapa bentuk :
1.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam membaca pada dua rakaat Fajar: (Qul ya ayyuhal kafirun) dan (Qul
huwallahu ahad).” (Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim (726))
2.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam membaca pada dua rakaat Fajar:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ
وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا
[Qaluu aamannaa billahi wa maa unzila ilaina]
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami’ (al-Baqarah : 136)
Dan ayat dari surat Ali Imron :
قُلْ يأَهْلَ
الْكِتَـبِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلِمَةٍ سَوَآءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kami” (Ali
Imron : 64).” (Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim (727) dan Nasai (II/155))
Pada rakaat pertama, beliau membaca surat Al-Baqarah ayat 136
setelah membaca Al-Fatihah. Sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat Ali
Imron ayat 64 setelah membaca Ali Imron
3.
Kadangkala
beliau mengganti ayat dalam surat Ali Imron pada rakaat kedua dengan firman
Allah :
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil)” (Ali
Imron : 52)
Hingga akhir ayat, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas.
(Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim (727) dan Abu Dawud (1259))
Penulis (Syaikh
Abu Malik Kamal) : Yang paling utama adalah memvariasikan semua cara ini untuk
melaksanakan sunnah, sebagaimana halnya dalam semua ibadah lainnya yang secara
shahih menyebutkan berbagai bentuk pelaksanaannya. Wallahu a’lam
Diambil dari
Kitab Shahih Fiqih Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,
dengan sedikit perubahan dalam hal redaksi dan tata letak dan penomoran (bukan
isi, pent)