Hadits of The Day

مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّـلَ اللهُ لَهُ طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ

Selasa, 22 Januari 2013

Maulid Nabi dalam Tinjauan Syariat

Berikut adalah Tulisan Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan [1]          

Merayakan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf Shalih dan generasi-generasi pilihan terdahulu. Perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke empat Hijriyah.

Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak ada pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh terhada atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang todak punya pekerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan.” [2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang Nashrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘alaihis salam atau karena alasan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahirna beliau masih menjadi ajang perselisihan. Dalam hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut baik memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu akan lebih berhak (pasti) melakukannya daripada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita. Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati, dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun batin dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan, dan lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar, dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik.” [3]


[1] Diambil dari Terjemahan Kitab Tauhid Jilid III, Syaikh Shalih Fauzan, Darul Haq
[2] Risalatul Maurid fi Amalil Maulid
[3] Iqtidha’ Shiratul Mustaqim (1/615)

»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 18 Januari 2013

Hal-Hal yang Disunnahkan Ketika Adzan


Berdasarkan dalil umum yang menganjurkan berdzikir dalam keadaan suci.
Adapun hadits yang menyatakan “Tidak sah mengumandangkan adzan kecuali orang yang berwudhu” adalah hadits yang tidak shahih.
            Seluruh fuqaha sepakat, jika muadzin mengumandangkan adzan dalam keadaan berhadats kecil, maka adzannya sah. Demikian pula jika muadzin dalam keadaan junub (adzannya sah), menurut pendapat yang shahih. Karena tidak ada satu dalil yang pun yang melarangnya. Lagi pula, orang yang junub itu tidak najis. Sementara Ahmad dan Ishaq melarangnya.[1]
           
      2.      Adzan sambil berdiri.

Para ulama sepakat tentang disunnahkannya bagi muadzin untk berdiri saat mengumandangkan adzan, kecuali jika sedang sakit. Jika demikian kondisinya, ia boleh adzan sambil duduk. Namun Malik, al-Auza’i dan Ashabur Ra’yi menilai makruh mengumandangkan adzan sambil duduk secara mutlak [2].

            Telah disebutkan dalam hadits Ibnu Umar, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Berdirilah, wahal Bilal, lalu kumandangkan adzan!”.
            Dalam Hadits Abdullah bin Zaid, “Aku bermimpi seolah-olah ada seseorang yang sedang berdiri…lalu ia adzan dua-dua dan iqamah dua-dua.”[3]

      3.      Menghadap kiblat

Para ulama sepakat bahwa disunnahkan adzan menghadap kiblat[4]. Ada sejumlah hadits yang diriwayatkan tentang masalah ini, namun hadits-hadits tersebut masih diperbincangkan. Diantara ada yang diriwayatkan dari Ibnu Zaid, ia melihat malaikat mengumandangkan adzan dengan menghadap kiblat [5].

      4.      Memasukkan jari tangan ke telinga

Berdasarkan hadits Abu Juhaifah, ia berkata, “Aku melihat Bilal mengumandangkan adzan sambil berputar, yang diikuti oleh mulutnya ke sana dan ke mari, sementara jari tangannya berada di telinga”. [6]

      5.      Muadzin menggabungkan tiap-tiap dua takbir

Berdasarkan hadits Umar bin al-Khaththab, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Jika muadzin mengucapkan: Allahu akbar-Allahu akbar, maka ucapkanlah: Allahu akbar-Allahu akbar. Kemudian jika muadzin mengatakan: Asyhadu alla ilaha illallah, maka ucapkanlah: Asyhadu alla ilaha illallah.” [7]

Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa muadzin menggabungkan tiap-tiap dua takbir, dan yang mendengarnya juga menjawabnya seperti itu [8]. Tidap seperti yang dilakukan sebagian muadzin yang mengucapka takbir satu persatu dari empat takbir tersebut dengan diselingi nafas.

    6.      Menoleh kepala ke kanan ketika mengucapkan hayya ‘alash sholah dan ke kiri ketika mengucapkan hayya ‘alal falah

Berdasarkan hadits Juhaifah, ia melihat Bilal yang sedang adzan, seraya berkata, “Maka aku pun mengikuti gerakannya kesana dan kemari (ke kanan dan ke kiri).” [9]

Karena itu, disunnahkan menoleh kepala ke kiri dan ke kanan dan badan tetap menghadap kiblat. Demikian menurut pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan Malik yang mengingkari perbuatan tersebut. Sementara Ahmad dan Ishaq membatasi bahwa itu berlaku untuk muadzin yang mengumandangkan adzannya di atas menara agar suaranya terdengar oleh banyak orang. [10]

      7.      Mengucapkan tatswib (ash sholatu khoirum minan naum –pent) pada adzan awal shalat Shubuh


Disarikan dari Kitab Shahih Fiqih Sunnah Jilid I karangan Syaikh Abu Malik Kamal dengan sedikit gubahan.


 
[1] Al-Ausath (III/28)
[2] Al-Ausath (III/46)
[3] Shahih,
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu abi Syaibah (I/203) dan Ahmad (V/232)
[5] Al-Ausath (III/28)
[6] Irwa’ al-Ghalil (I/250)
[7] Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi (197) dan Ahmad (IV/308). Lihat al-Irwa’ (230)
[8] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (848)
[9] Syarh Muslim karya an-Nawawi (III/79)
[10] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (634) dan Muslim (503)
[11] Al-ausath (III/26,27)

»»  Baca Selengkapnya...

Kamis, 17 Januari 2013

Adab Bersin

Alhamdulillah, Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam, Amma ba’du

Ketahuilah bahwa bersin adalah sesuatu yang Allah senangi, hal ini berdasarkan hadits berikut
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah menyukai bersin.” (HR Bukhari)

Untuk itu penting bagi kita semua untuk mengetahui beberapa adab tentang bersin.
Berikut ini adalah beberapa adab tentang bersin :

1.    Menutup dengan tangan dan mengecilkan suara

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَطَسَ وَضَعَ يَدَهُ أَوْ ثَوْبَهُ عَلَى فِيْهِ وَخَفَضَ أَوْ غَضَّ بِهَا صَوْتَهُ
“Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029; at-Tirmidzi, no. 2745 dan beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293, beliau menshohikannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

2.    Mengucapkan “Alhamdulillah”

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Ababila salah seorang dari kalian bersin, hendaknya dia mengucapkan, “ALHAMDULILLAH” sedangkan saudaranya atau temannya hendaklah mengucapkan, “YARHAMUKALLAH (semoga Allah merahmatimu). Jika saudaranya berkata ‘YARHAMUKALLAH’ maka hendaknya dia berkata, “YAHDIKUMULLAH WA YUSHLIH BAALAKUM (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki hatimu).” (HR. Al-Bukhari no. 6224 dan Muslim no. 5033)

Dalam hadits ini dijelaskan akan sunnahnya mengucapkan “Alhamdulillah” bagi orang yang bersin baik walaupun dia sedang sholat (akan tetapi yang mendengarkan tidak menjawab).

3.    Bertasymit bagi yang mendengarkan

Seperti yang ada dalam hadits di atas, maka orang lain yang mendengar orang yang bersin dan mengucapkan “Alhamdulillah” maka dia wajib mendoakan dengan “Yarhamukallah”. Hukum bertasymit (Yarhamukallah) disini wajib bagi siapa saja yang mendengar ucapaan “Alhamdulillah”.
Dan hukum wajib disini ketika dia tidak sedang sholat atau sedang di tempat yang terlarang mengucapkan kalamullah. Ataupun dia sedang mendengarkan khutbah.

Apakah perlu bertasymit bagi yang bersin dan tidak mengucapkan “Alhamdulillah”?

Jika ada orang yang bersin kemudian dia tidak mengucapkan “Alhamdulillah” maka yang mendengarkan tidak perlu bertasymit. Ini berdasarkan dalil berikut :

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتُوهُ فَإِنْ لَمْ يَحْمَدْ اللَّهَ فَلَا تُشَمِّتُوهُ
“Bila salah seorang dari kalian bersin lalu memuji Allah maka tasymitlah dia. Tapi bila dia tidak memuji Allah, maka jangan kamu tasymit dia.” (HR. Muslim no. 2992)

4.    Mengucapkan “Yahdikumullah wa Yushlih Baalakum” bagi yang bersin

Dalil perkara ini sudah dijelaskan di atas.

5.    Menjawab bersinnya orang kafir yang mengucapkan “Alhamdulillah”

Tidak boleh mendoakan Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu) kepada orang yang bukan beragama Islam walaupun dia mengucapkan “Alhamdulillah”.

Akan tetapi jawablah dengan “Yahdikumullah wa Yushlih Baalakum”. Dalil amalan ini adalah hadits berikut :

Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
Dahulu orang Yahudi sengaja bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan Nabi mengatakan,  “yarhamukumulloh (semoga Allah merahmatimu)” tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “YAHDIKUMULLOH WA YUSHLIHU BAALAKUM (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5038 dan At-Tirmidzi, no. 2739. Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih).

6.    Tidak Perlu Mendo’akan Orang Yang Sudah Bersin Tiga Kali Berturut-Turut

Karena orang yang telah bersin lebih dari tiga kali maka dia sedang sakit. Sehingga tidak boleh mendoakan kecuali kesembuhan untuknya. Beliau bersabda:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيُشَمِّتْهْ جَلِيْسُهُ، فَإِنْ زَادَ عَلَى ثَلاَثٍ فَهُوَ مَزْكُوْمٌ، وَلاَ يُشَمَّتْ بَعْدَ ثَلاَثٍ 
“Jika salah seorang dari kalian bersin, hendaklah orang yang ada di dekatnya mendo’akannya. Dan jika (ia bersin) lebih dari tiga kali berarti ia sakit. Janganlah kalian men-tasymit bersinnya setelah tiga kali.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5034; Ibnus Sunni, no. 251; dan Ibnu ‘Asakir, 8/257. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 684)
Dalam redaksi lainnya disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَمِّتْ أَخَاكَ ثَلاَثًا فَمَا زَادَ فَهُوَ زُكَامٌ
“Do’akanlah saudaramu yang bersin tiga kali dan bila lebih dari itu berarti ia sedang sakit.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5034 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iiman, 7/32. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam al-Misykah, no. 4743)
Ada seorang laki-laki bersin di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salla. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Yarhamukalloh.” Kemudian ia bersin lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
اَلرَّجُلُ مَزْكُوْمٌ
“Laki-laki ini sedang sakit.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2993)
»»  Baca Selengkapnya...

Rabu, 16 Januari 2013

Hukum At-Tasybik (Menjalin Jari-Jemari)

إذا توضأ أحدكم في بيته ثم أتى المسجد كان في صلاة حتى يرجع فلا يقل هكذا وشبك بين أصابعه
“Apabila salah seorang diantara kalian wudlu di rumahnya kemudian ia pergi ke masjid, maka ia senantiasa dalam keadaan shalat hingga ia kembali pulang ke rumahnya. Oleh karena itu, janganlah ia melakukan melakukan seperti ini ! – Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperagakan dengan menjalinkan jari-jemarinya (tasybik)” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 439, Al-Haakim 1/206, dan Ad-Daarimi no. 1446; shahih].
عن أبي ثمامة الحناط : أن كعب بن عُجْرَة أدركه وهو يريد المسجد، أدرك أحدهما صاحبه قال: فوجدني وأنا مشبك بيدي فنهاني عن ذلك وقال: إن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم قال: "إذا توضّأ أحدكم فأحسن وضوءه، ثمّ خرج عامداً إلى المسجد فلا يشبِّكنَّ يديه فإِنه في صلاةٍ".
Dari Abu Ummamah Al-Hanaath : Bahwasannya Ka’b bin ‘Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu itu. Ka’b melihatku sedang menjalinkan jari-jemariku (tasybik), kemudian ia melarangku dan berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Apabila salah seorang diantara kalian wudlu, membaguskan wudlunya, kemudian pergi menuju masjid; maka janganlah ia menjalinkan jari-jemarinya (tasybik). Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat” [HR. Abu Dawud no. 562; At-Tirmidzi no. 386; Ahmad 4/241,242, 243; Ibnu Khuzaimah no. 441; Ad-Daarimi no. 1444; dan yang lainnya – shahih].
عن إسماعيل بن أمية، قال: سألت نافعاً عن الرجل يصلي وهو مشبِّك يديه؟ قال: قال ابن عمر: تلك صلاة المغضوب عليهم.
Dari Isma’il bin Umayyah, ia berkata : Aku bertanya kepada Naafi’ tentang seorang laki-laki yang menjalin jari-jemarinya (tasybik) ketika shalat ?. Maka ia berkata : Telah berkata Ibnu ‘Umar : “Itu adalah cara shalat orang-orang yang dimurkai oleh Allah” [HR. Abu Dawud no. 993; shahih].
Dhahir hadits di atas menunjukkan larangan melakukan tasybik (menjalin jari-jemari) ketika seseorang berwudlu, keluar menuju masjid, menunggu shalat ditegakkan, hingga shalat ditunaikan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
أما التشبيك بين الأصابع فيكره من حين يخرج ، وهو في المسجد أشد كراهة ، وفي الصلاة أشد وأشد"
“Menjalin jari-jemari (tasybik) adalah dimakruhkan ketika ia keluar bejalan menuju masjid. Ketika ia sudah berada di masjid, maka kemakruhan itu bertambah. Dan shalat dilaksanakan, maka kemakruhan itu semakin bertambah (keras)” [Syarhul-‘Umdah, hal. 601; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1418].
Namun ketika seseorang berada di masjid tidak sedang menunggu shalat atau telah selesai melaksanakan shalat; maka tidak mengapa. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah telah menegaskan kebolehannya dengan membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya : “Menjalin Jari-Jemari di dalam Masjid dan Selainnya (تشبيك الأصابع في المسجد وغيره). Kemudian beliau membawakan beberapa hadits, di antaranya :

عن أبي موسى، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا). وشبك أصابعه.

Dari Abu Musa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan”. Kemudian beliau menjalin jari-jemarinya (tasybik)” [HR. Al-Bukhari no. 481].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ _ رضي الله عنه _ قَالَ : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إحدى صلاتي العشي. فصلى بنا ركعتين ثم سلم، فقام إلى خشبة معروضة في المسجد، فاتكأ عليها كأنه غضبان، ووضع يده اليمنى على اليسرى، وشبك بين أصابعه.....

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Suatu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat ‘isya’ dan ketika baru mendapatkan dua raka’at, beliau salam. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri dengan bersandar pada sebatang kayu yang melintang di dalam masjid dengan tampak marah. Beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas tangan kiri dan menjalinkan jari-jemarinya (tasybik),…..” [HR. Al-Bukahri no. 482].

Semoga ada manfaatnya artikel singkat ini….
Abu Al-Jauzaa’, DAW – 1430 H.
Sumber artikel : abul-jauzaa.blogspot.com
NB : Bagi yang belum tahu apa itu tasybik. Gambar di atas itu adalah gambarannya.

»»  Baca Selengkapnya...